SAYA sering diperdengarkan dari siraman rohani bahwa hakikat hidup dari detik ke detik berikutnya sebenarnya semakin berkurangnya usia. Mereka yang merayakan ulangtahun, tanda diingatkan tentang jatah hidup tidak lagi bertambah. Terlebih mereka yang mengucapkan secara langsung atau melalui media sosial, semakin banyak yang mengucapkan seharusnya semakin dipersiapkan amal untuk kehidupan di akhirat nanti kelak.
Ulang tahun saya yang mengarah ke kepala tiga itu, di dinding akun Facebook hanya mendapat tiga notifikasi dari orang yang mengucapkan. Saya berasumsi jika saya yang terlalu cuek terhadap kekawan Facebook atau hampir semua sudah beralih pada Instagram atau media sosial lain.
Keluarga saya pun tidak mengucapkan, sebab mereka lebih sibuk mengurusi biaya pengobatan saya di dalam bulan menjelang saya berulangtahun. Saya waktu itu selalu bolak-balik kontrol ke rumah sakit. Belum jelas juntrungnya penyakit apa yang diderita saya.
Awal mula saya jatuh sakit, sejak seringnya berkemih. Sekalinya menuntaskan peristiwa tersebut, terkadang air seni di dalamnya berwarna seperti teh atau lebih kemerahan bahkan jika kedapatan dalam keadaan jernih pun terdapat beberapa bulir merah seperti agar-agar.
Karena keluarga sudah mengetahui keberadaan karakter yang berbeda, kakak pengais bungsu memberi saya usul, sebagaimana sebelum abang jatuh sakit parah, beliau menyarankan,
“Ki, test HIV aja, ya?”
Saya menuruti kemauan kakak pengais bungsu dan melaksanakan pesan dari abang yang baru terlaksana setelah sekian lama. Saya lantas menonton Youtube mengenai prosedur bagaimana tes HIV dilakukan. Usai menonton, saya berkesimpulan apabila tes HIV sama seperti tes ambil sampel darah, hanya saja tidak perlu puasa dan penting dihadirkanya konseling sebelum dan sesudah tes berlangsung.
Tiga hari menjelang ulangtahun, saya mengikuti tes tersebut di laboratorium rumah sakit swasta ternama di kota kecil timur Pulau Jawa. Sebelum saya menjalani tes, saya dihadapkan dengan surat bermaterai di lobi laboratorium. Saya tercengang, tidak seperti yang ditonton di Youtube. Apa mungkin ini bagian dari S.O.P[1] laboratorium rumah sakit yang diikuti ini?
Setelah diambil sampel darahnya, pihak rumah sakit tidak memberikan konseling sedetik pun. Tak heran apabila pria kurus ini masih duduk menunggu. Tetapi perawat—yang telah mengambil sampel darah saya—mengatakan bahwa pengambilan sampel darah telah usai. Tidak ada konseling sama sekali.
“Ki, bayarnya mahal tahu!” ucap kakak pengais bungsu di perjalanan pulang setelah menemani dari laboratorium.
Semakin terkejut apa yang saya pikirkan, mengapa dikenakan biaya. Setahu saya dari akun Twitter para gay yang aktif kegiatan seksnya, mereka menjalani tes yang serupa, tanpa biaya sekoin rupiah pun. Apa mereka pengguna asuransi, sehingga dimudahkan urusannya, dibanding saya yang pada saat itu belum mengikuti asuransi.
Saya lebih mengabaikan masalah tersebut, toh salah saya juga yang tidak mengikuti asuransi. Saya hanya ingin tahu bagaimana hasil tes tersebut. Pertama kali saya ketahui tentang keharusan menggali informasi seluk-beluk tes HIV. Dalam referensi yang saya baca, biasanya tes HIV dilakukan dua kali pemeriksaan. Sebab pemeriksaan pertama biasanya terdapat kekeliruan, lalu kedua kalinya barulah bisa dikatakan vonis HIV atau bukan HIV.
Wah berarti aku diambil darah dua kali dan bolak-balik ke rumah sakit yang sama. Tetapi dugaan saya ini meleset. Kakak pengais bungsu bilang, sampel darah saya diteliti dua kali di rumah sakit yang berbeda, tidak perlu saya dilakukan tes sekali lagi. Sebab di rumah sakit yang tadi saya kunjungi kurang lengkap fasilitasnya.
Tinggal menunggu hasil sembari saya mengharapkan hadiah apa yang akan diberi. Namun jika keadaan yang sering bolak-balik rumah sakit, mustahil saya diberikan hadiah dari kakak terdekat itu. Utamanya memang karena saya yang salah, tidak berterusterang gejala yang saya derita apa selama ini dan tidak segera berobat di Bandung.
Padahal saya niatnya kalau terus terang sama seperti yang sedang mengeluh. Aa Abdur Rahman—sosok abang—walaupun, beliau sakit keras, beliau tidak pernah mengeluh. Serta Teh Triwati malas berurusan dengan adiknya ini. Alasan saya terlambat dalam berobat, karena membayar dokternya yang terbilang tidak murah. Sementara dalam pikiran saya lainnya, saya sebenarnya tidak mau merepotkan orangtua terus menerus.
“Kan ibu kaya, masak sih kamu gak mampu berobat?” ucap Kak Pamungkas Putra, sang kakak ipar, suami kakak pengais bungsu.
Ucapannya seolah tak ada beban dan bahkan terkesan meremehkan. Saya tahu betul penghidupan ibu-bapak itu sehari-harinya dari upah pensiun. Upah pensiun tidak seberapa dan diatur sedemikian rupa: hanya cukup untuk makan sebulan, bayar iuran listrik dan air serta biaya kebersihan dan keamanan komplek. Sedangkan ibu yang terbiasa arisan pengajian, ibu tidak serta merta menggelontorkan uang sebanyak itu.
Saya tidak suka kakak ipar berbicara seperti itu. Saya hanya ingin menjadi anak yang berbakti, mengembalikan kepercayaan yang telah hilang, dengan cara tidak merepotkan orangtua.
***
Kado dari laboratorium rumah sakit berisikan kata-kata kedokteran yang tidak dipahami:
Jumlah dari
CD4 Absolut : 198 (rujukan 410-1530 sel/uL)
CD4 % : 8,29 (rujukan 31-60%)
Status Virus : Terdeteksi dan Reaktif
Maka, hasil pemeriksaan sampel darah disimpulkan:
Jumlah T Helper Limfosit (CD4) sangat menurun
|
|
Secara sepintas, saya melirik kata-kata itu. Mereka memiliki register[2]. Dalam mengamati dengan mengkolaborasi dengan ingatan pengalaman, saya membenarkan perkataan dosen linguistik yang pernah saya ikuti di perkuliahan. Setiap profesi memiliki bahasa tersendiri. Aku kesulitan membaca dan memahami hasil tes laboratorium sampel darah.
***
Akhirnya hasil tes tersebut dibawa ke urologi, dokter yang terakhir kalinya saya mengunjungi ke rumah sakit. Saya berwajah tanpa ekspresi sebab harap-harap cemas, dengan penampilan pakaian yang dikenakannya kemeja putih kusut dan celana jeans biru lusuh. Berbeda dengan pakaian kakak pengais bungsu yang elegan dan mewah, karena akan bertemu urologi ternama di kota kecil sebelah timur Pulau Jawa.
“Ini hasil laboratorium menunjukan, jika Mas Rizki memiliki daya imun yang sangat rendah, di bawah rata-rata nilai rujukan,” sang dokter spesialis perkemihan menjelaskan dengan bahasanya.
Saya dan kakak pengais bungsu—selaku orang yang menemani saya—sama-sama semakin tidak mengerti apa yang dimaksud dari ucapan tersebut. Untungnya, kakak pengais bungsu yang mempunyai inisiatif untuk bertanya ke arah tepat sasaran.
“Jadi, adik saya ini bagaimana,dok?”
Hening sejenak, sang pria berjas putih dengan stetoskop tersampir di lehernya itu melihat satu persatu dimulai dari saya yang memiliki hasil tes dan disusul pandangannya ke arah kakak pengais bungsu yang terlihat tegang dengan hasil tes tersebut.
“Mas Rizki positif,” ucapnya tenang.
Kakak pengais bungsu menangis, sedangkan saya tidak percaya apa yang diucapkannya. Aku yakin itu kurang ketikannya. Aku yakin itu salah. Begitulah aku dalam batin saya.
“Mas Rizki, temanmu di dunia kelam itu, masihkah mereka hidup?” menurut saya pribadi, pertanyaan macam apa ini dari seorang ahli.
Saya tidak pernah bertemu lagi dengan teman di dunia kelam itu. Komunikasi via pesan teks Whatsapp saja bisa mereka sedang sakit tetapi tidak terlihat keberadaan sebenarnya atau mereka berpura sakit karena enggan berkomunikasi dengannya atau cari perhatian saja. Saya tidak mengetahuinya secara pasti.
***
Selama perjalanan kembali ke rumah kakak pengais bungsu, saya masih menyangka jika tes tersebut salah ketik. Tetapi kakak ipar sekali lagi dia berceloteh dengan nada dinginnya sembari mengemudikan mobil matic inventaris kantor.
“Ki, hasil lab gak mungkin salah, soalnya terhubung dan dihitung sama komputer!”
“Dek, tadi pas diumumin kok kamu malah gak ada ekspresi apa-apa? Apa kamu gak ngerasa dosa, hah!” Teh Triwati di sebelah Pamungkas dengan mata merah disertai air mata bercampur amarah kekecewaan tak kunjung kering dari mulut dan matanya.
Sementara saya di jok belakang, masih termangu dan memikirkan adanya probabilitas kekeliruan yang terjadi, tapi apa yang bisa dijadikan bukti empiris. Saya tidak mau mendengar ceriwis dari orang yang dituakan di depan saya itu.
***
“Ki, kamu tahu yang ada di kloset itu?” Teh Triwati bertanya pada saya sesampainya di rumah dirinya.
Saya dikelilingi sepasang suami istri dan ibu yang melahirkan saya juga Teh Triwati. Pada saat itu, saya diintrogasi untuk meminta klarifikasi terkait sejarah masa lalu. Mereka ingin tahu apa saja yang telah saya lakukan. Saya mengaku sebab desakan kakak ipar yang terus memberondong pertanyaan, sehingga saya mati kutu dalam beralasan. Ibu terus menerus menangis melihat saya dicecar pertanyaan dan mendengar jawaban dari saya.
“Kok kamu melamun, ayo jawab!” Kak Pamungkas menegaskan pertanyaan istrinya.
“Ya, saya tahu, teh.”
“Geuleuh[3] kan lihatnya?” tak hentinya kakak terdekat saya ini bertanya.
Pertanyaan kali ini saya seolah berada di dalam kloset tersebut. Lalu Teh Triwati menekan flush sampai saya terbawa hanyut ke dalam saptic-tanc. Saya hanya diam dan mata tertuju pada proposal dengan judul “Pemanfaatan Sampah Organik Menjadi Pupuk” yang tergeletak percis di dekat saya duduk, tetapi entah kenapa pikiran nyeleneh menyeruak saat itu juga. Tapi saya tak utarakan pada mereka. Suasana tak mendukung.
Pikiran itu ialah jika saya berada di tanah setelah dari kloset, bisa jadi saya akan menjadi menyuburkan sekitar. Karena saya mengandung “kompos”, memberi manfaat pada tumbuhan yang akar menyerapnya. Maka, saya dari peristiwa itu, saya berusaha setenang mungkin. Siapa tahu saya bisa menyuburkan kehidupan selanjutnya, hasilnya akan dipetik kemudian hari. Saya percaya itu. Walau perih diperlakukan oleh kedua orang itu, tapi saya yakin suatu saat saya akan bermanfaat untuk orang lain.[]
Keterangan:
Disadur dari salah satu cerita berdasarkan pengalaman pribadi penulis yang diubah seperlunya dan nama para tokoh tentunya disamarkan demi privasi.
[1] Singkatan dari Standard Operation Procedure, tahapan demi tahapan yang dibuat dan dilakukan dari dan untuk instansi terkait.
[2]Dalam ilmu linguistik, register ialah ciri khas individu atau kelompok dalam berbahasa, mereka bisa diidentifikasi dari segi pemilihan diksi atau gerak tubuh yang bisa membedakan dengan individu atau kelompok lainnya.
[3] Terjemahan: Menjijikan: Sesuatu yang tidak enak dirasakan oleh indera penglihatan atau indera penciuman.
Dari L di Kota Bandung