Rasa Lega Setelah Test HIV

Hallo namaku Bandi. Aku sangat takut untuk melakukan test HIV, jadi aku terus menundanya. Tetapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu aku harus segera melakukannya.

Aku sunggu merasa lelah sepanjang waktu dan mendapatkan banyak ruam di tubuhku dan aku tak bisa berhenti berpikir tentang HIV.

Setalah setahun berlalu, aku berkata: “Tahu nggak kamu? Aku akan pergi dan segera melakukan test HIV”.

Selama menunggu hasil test, aku terus menangis dan berjalan kesana kemari. Aku tak biss duduk diam sampai aku mendapatkan hasil testku.

Aku yakin bahwa aku HIV positif tetapi hasil testku mengatakan lain, aku HIV negatif. Aku sungguh bahagia dan sangat bersyukur kepada Tuhan.

Aku ingin semua orang tahu, bahwa mereka tak perlu melalui semua rasa khawatir seperti apa yang aku rasakan. Lakukan test HIV.

Bila orang lain mengajakmu melakukan sex yang tak aman, katakan kepada mereka untuk tidak mau. Ini akan menjadi terakhir kalinya aku melakukan sex tanpa kondom karena aku sungguh merasa ketakutan. Jika kamu di luar sana masih melakukan sex, tolonglah “be smart“.


Sumber: Avert.org

Tak Apa Untuk Takut, Yang Penting Adalah Mendapatkan Dukungan

 

Umurku 12 tahun saat ayahku didiagnosa Pneumonia dan ibuku ditest HIV dengan mendapatkan hasil yang positif. Lalu ayahku meninggal dikarenakan AIDS pada saat aku berusia 18 tahun.

Aku yang pertama mengakui bahwa hidup dengan orang tua dengan HIV positif itu sungguh menyakitkan dan mimpi buruk yang membuatku merasa terisolasi dan emosional.

Aku membenci ayahku karena tidak jujur dari awal tentang orientasi seksualnya. Aku menolak untuk datang ke pemakamannya. Di mataku, dia sudah meninggal jauh sebelum jiwanya meninggalkan dunianya.

Saat usiaku 30 tahun sekarang, ibuku masih hidup karena sudah patuh untuk menjalankan terapi obat ARV. Dan aku pun sudah memaafkan almarhum ayahku.

Aku menyadari, jika aku jujur dengan orang lain terkait situasiku, orang lain tidak sekebal yang aku kira sebelumnya. Aku berharap anak-anak lain yang menyembunyikan cerita tentang orang tuanya sepertiku, tidak mengisolasi dirinya. Seperti apa yang sudah aku lakukan.

Aku berharap mereka tahu, it’s okay untuk menceritakan kisah mereka dan menceritakan bagaimana perasaan mereka karena mereka juga terpengaruh oleh penyakit ini seperti orang tua mereka.

It’s okay untuk merasa kesal, marah, tersakiti ataupun takut karena yang paling penting adalah mendapatkan dukungan.

Dengan begitu kamu bisa mengatasinya dan tahu bahwa kamu tak merasa sendiri.

 

Sumber Avert.org. Dikirim secara anonymous.

Ribuan KM Demi ARV


Hallo, selamat pagi, siang, sore dan malam Sahabat Puzzle. Sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak karena telah diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman hidup saya di sesi curhat malam ini.

Saya didiagnosa HIV positif pertengahan bulan Oktober tahun 2014.

 

Mulai terapi ARV, pada akhir bulan Oktober tahun 2014. Jenis Atripla.

 

Awal mula terapi, saya mengalami kendala. Satu bulan pertama, badan saya merasa pegal sekali, kepala sering merasa pusing, dehidrasi, halusinasi, mood saya sering berantakan, nafsu makan mulai berkurang, dan susah tidur di malam hari.

Oh iya. Saya tinggal di Jakarta. Terapi ARV di Bandung. Selama ini tidak begitu mengalami hambatan dalam pengambilan ARV. Jarak Jakarta – Bandung, tak saya hiraukan. Anggap saja sedang mempunyai Hubungan Jarak Jauh atau LDR. 

 

Saya mulai open status kepada sahabat terdekat saya. Tak ada satu pun di antara mereka yang berubah. Mereka support saya. Namun saya belum berani untuk open status kepada keluarga saya, karena saya takut Mama khawatir.

 

Saya sempat sangat frustasi karena minimnya pengetahuan tentang HIV & AIDS, dan merasa ini adalah akhir dari segalanya. Lalu beberapa sahabat terdekat saya, menyarankan untuk berobat ke salah satu dokter di Bandung. 

 

Mood saya sering berantakan. Ketika saya bertemu atasan saya di kantor, saya berkata kepada beliau bahwa saya ingin memgundurkan diri karena alasan saya HIV Positif. Namun beliau memeluk saya dan menangis. Beliau berkata, kamu tidak usah mengundurkan diri, kamu masih butuh biaya, saya akan support kamu, kamu harus semangat dan fokus dengan pengobatan, saya tidak ingin kehilangan kamu.

 

Ternyata saya di kelilingi orang-orang yang sangat hebat. Saya diberi kemudahan dari awal terapi ARV, sampai sekarang. Saya menikmati semua prosesnya.

 

Alhamdulillah, setelah rutin terapi ARV, kesehatan saya mengalami kemajuan. Berat badan saya langsung naik, tidak mudah sakit, merasa lebih sehat, CD4 saya meningkat menjadi 600 dan saya merasa bersyukur sekali.

Citra, terima kasih telah memperkenalkan saya kepada kepada Sahabat Puzzle. Saya merasa bersyukur sekali karena telah diperkenalkan dengan orang-orang baik dan hebat di sana.

Sahabat Puzzle, ketika kita diberi kesehatan, berusahalah untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Selalu berpikiran positif dan bersyukurlah pada Tuhan. GOD is great.

Hidup Bersama HIV dari pada Kalah Bersamanya

Namaku Boris, usiaku 25 tahun. Aku adalah seorang gay dan aku telah di diagnosis HIV sejak usiaku 19 tahun.
Selama hidupku aku belajar tentang HIV – dan aku sangat sadar akan hal itu. Berkat test setiap 6 bulan sekali aku di diagnosis lebih awal. Aku diberikan saran untuk melakukan therapy antiretroviral atau ARV. Aku mengambil resep ke pharmacy, mengambil obat dan pulang kerumah.
Aku teramat sangat takut dan menyadari bahwa aku tidak sadar akan apa yang akan terjadi kepadaku. Dikemudian hari aku kembali menemui dokter dan mengatakan kepada mereka bahwa aku ingin menunda proses pengobatan. Aku sangat putus asa dan tidak bisa melihat diriku menjalankan pengobatan untuk seumur hidupku atau setidaknya hingga mereka menciptakan obat untuk HIV.
Sebagai seseorang yang selalu menjaga kesehatan tubuhku, aku mulai belajar lebih dalam tentang HIV. Aku membaca artikel, studi ilmiah dan banyak buku tentang hal tersebut dan menyadari inilah dia – tak ada jalan untuk kembali.
Setelah hampir tiga tahun aku tidak menjalankan pengobatan, dan malam tanpa tidur nyenyak serta kesedihan, aku akhirnya memutuskan untuk berhenti membiarkan hal tersebut mengalahkanku. Aku bahkan tak tahu bagaimana tapi aku menemukan kekuatan di dalam diriku dan mulai kembali pergi untuk menemui dokter. Mereka mulai menempatkanku dalam pengobataan antiretroviral dimana aku sekarang telah menjalaninya hingga dua tahun.
Aku ingin memberikan saran kepada semua orang yang tidak yakin untuk pergi dan melakukan test HIV, dan selalu menggunakan perlindungan, walaupun kamu “melakukannya” dengan “seseorang yang kamu tahu”. Lakukanlah test secara teratur, dengan begitu kamu akan tahu akan status HIV-mu.
Walaupun hasil test mu positif, jangan biarkan dirimu “dikalahkan” oleh hal tersebut. Aku tahu kamu pasti akan sering diberitahu tentang hal tersebut tapi aku bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Jalankan pengobatanmu dan dengarkan saran dari doktermu. Mereka ada disana untuk menolongmu untuk melalui semua proses tersebut.
Dan jika kamu membaca ini dan merasa “sendiri”, ketahuilah satu hal: Ada seorang laki-laki bernama Boris yang akan selalu mendukungmu dan selalu mensupportmu untuk melakukan hal yang benar. Love you!
————————————————————–
What We Say: Boris membutuhkan tiga tahun untuk berdamai dengan diagnosisnya dan kenyataan barunya untuk hidup dengan HIV. Ia menemukan jalannya dengan belajar dan mengambil keputusan untuk hidup dengan HIV dari pada harus “dikalahkan” oleh hal tersebut. Dia sekarang mulai percaya diri dengan keputusannya dan ingin memberikan pengalamannya dan mensupport orang lain, termasuk fakta bahwa semakin cepat kamu melakukan pengobatan, semakin sehatlah kau menjadi.

*Cerita pribadi ini telah dikirimkan kepada kita secara “anonymous” oleh individu yang menggunakan situs www.avert.org. Beberapa cerita telah diedit untuk tujuan kejelasan. Beberapa nama telah diubah untuk meindungi identitas pribadi.
Translate Oleh: Reza “Egodde” Permadi
Sumber cerita: https://www.avert.org/living-with-hiv/stories/boris

Kesempatanku Bangkit untuk Anakku

Menyandang status sebagai ODHA (orang yang hidup dengan HIV dan AIDS) tidak pernah sedikit pun terlintas dalam pikiran saya, karena melihat latar belakang saya hanya seorang ibu rumah tangga.

Dua tahun yang lalu tepat nya di awal tahun 2018 adalah masa terberat dalam hidup saya, mengetahui kalo saya terinfeksi HIV dari Laki-laki yang sudah enam tahun menjadi suami saya yang juga terkena virus HIV.

Awalnya dia mengalami sakit dengan gejala demam tinggi, keringat malam dan kadang batuk batuk tapi semakin hari semakin parah bahkan dia sampai lemas hanya dapat berbaring di tempat tidur.

Akhirnya keluarga sepakat untuk membawa suami ke rumah sakit untuk dirawat da rumah sakit Al-Islam lah menjadi pilhan keluarga saya.

Suami saat itu langsung di tangani oleh dokter dan di lakukan beberapa test laboratorium, dokter pun mendiagnosa kalo dia terkena infeksi pernafasan atau TB paru-paru yang sudah akut.

Hari kedua suami di rawat saya masih ingat sekali kejadian di hari itu, tanggal 17  Januari 2018 tiba tiba seorang perawat mengajak saya untuk ke datang ke ruanganya katanya ada hal yang ingin di bicarakan mengenai penyakit dari suami saya.

Perawat tersebut mulai menanyakan beberapa pertanyaan yang sangat sensitif yaitu tentang aktifitas sehari-hari dia, usia penikahan kami sampai pada kondisi dari anak-anak kami. Dengan tenang saya pun menjawab setiap pertanyaan perawat itu, tapi tiba-tiba perawat itu memotong jawaban saya dengan bertanya :

 

Perawat : “Ibu tahu apa penyakit bapak?”

Saya : “TB paru-paru kan ?”

Perawat : “Bukan Ibu, selain itu?”

Saya : “Tidak tahu, Suster …”

Perawat : “Suami Ibu kena virus HIV, sudah stadium tiga”

 

Apa yang saya rasakan saat itu adalah antara percaya dan tidak, sekaligus kaget, sedih, kecewa, dan bingung atas apa yang baru saja saya dengar.

 

Saya : “Terus bagimana dengan keadaan suami saya, apa dia akan sembuh?”

Perawat : “Kami sedang berusaha, Ibu banyak berdo’a semoga ada keajaiban dan Ibu harus siap dengan kemungkinan terburuk, dan saya sarankan Ibu juga melakukan test HIV, ada kemungkinan kalo suami Ibu sudah menularkan kepada Ibu”,

 

Tanpa berpikir lagi di hari itu juga saya melakukan test HIV,dan hasilnya sudah diduga adalah Reaktif .

Perawat : “setelah pemeriksaan laboratorium, Ibu di nyatakan positif HIV

 

Saat itu saya menangis sejadi-jadinya, hati saya hancur, sakit, sungguh tidak bisa diungkapkan lagi seperti apa kondisi saya saat itu, saya bingung sekali dalam hati rasanya saya ingin sekali mati.

 

Sebulan berlalu setelah itu suami saya meninggal, karena tidak bisa melawan virus yang ada didalam tubuhnya. Tidak perlu saya gambarkan kembali bagaimana perasaan saat itu, dunia ini sungguh sedang tidak berpihak pada saya, seperti mati secara perlahan-lahan.

Hari demi hari saya lalui, dan akhirnya  saya memulai terapi antiretroviral sesuai dengan anjuran dan saran dokter, setiap hari saya harus minum obat yang ada didalam pikiran saya adalah bayang-bayang sampai kapan akan bertahan dan perasaan tak menentu ini ditambah dengan masih harus melakukan test HIV pada kedua anak saya.

Saya juga mengalami efek samping dari terapi ARV dan muncul berbagai keluhan, seperti diantaranya ruam pada tubuh saya, pusing yang amat sangat, mual, sampai membuat saya harus bolak balik ke rumah sakit akibat reaksi tubuh terhadap obat HIV yang diminum.

Sampai di suatu hari saya di perkenalkan oleh salah seorang teman yang kebetulan sama-sama pengidap HIV, dan pada saat itu hanya dialah teman yang saya berani terbuka mengenai status saya ini.

Saya mulai banyak bertanya dari masalah obat, makanan dan semuanya yang menyangkut hidup dari seorang pengidap HIV sepert saya ini.

Dan pada akhirnya saya di kenalkan dengan beberapa teman pendamping dan bersedia menemani saya untuk melakukan test HIV untuk anak saya.

Betapa bersyukurnya saya, sujud syukur alhamdulillah hasil dari tes laboratorium untuk anak-anak sata adalah non reaktif atau negative.

 

Mulai dari sinilah saya bangkit, semangat untuk minum obat dan  dalam hati saya ini adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada saya untuk dapat berjuang dan hidup sehat bukan hanya untuk saya sendiri tapi untuk anak-anak saya, masa depan anak-anak saya, saya harus bisa merawat anak-anak saya untuk dapat menggapai cita-citanya.

Sejak saat itu saya mulai aktif di kegiatan komunitas yang berkenaan dengan masalah-masalah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS, saya sering ikut study club*  berbagai kegiatan pelatihan lainnya.

Saya juga sering melakukan  penyuluhan ke masyarakat tentang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS khususnya pada ibu rumah tangga seperti saya.

Agar semakin banyak masyarakat yang tahu mengenai bagaimana penularan dan cara pencegahan serta pengobatannya. Dan ketika di temukan orang yang dengan HIV positif tidak sampai di kucilkan dan di diskriminasi.

 

Saya akan terus menyebarkan informasi ini ke masyarakat karena banyak sekali masyarakat yang belum paham mengenai HIV dan AIDS yang tepat agar tidak ada lagi perempuan atau siapa pun di luar sana yang mengalami nasib seperti saya.

 

Inilah ceritaku, Sahabat Puzzle yang kembali bangkit untuk mereka, anak-anak saya!

 

Hadiah dari Tuhan di Tahun 2019

SAYA sering diperdengarkan dari siraman rohani bahwa hakikat hidup dari detik ke detik berikutnya sebenarnya semakin berkurangnya usia. Mereka yang merayakan ulangtahun, tanda diingatkan tentang jatah hidup tidak lagi bertambah. Terlebih mereka yang mengucapkan secara langsung atau melalui media sosial, semakin banyak yang mengucapkan seharusnya semakin dipersiapkan amal untuk kehidupan di akhirat nanti kelak.

Ulang tahun saya yang mengarah ke kepala tiga itu,  di dinding akun Facebook hanya mendapat tiga notifikasi dari orang yang mengucapkan. Saya berasumsi jika saya yang terlalu cuek terhadap kekawan Facebook atau hampir semua sudah beralih pada Instagram atau media sosial lain.

Keluarga saya pun tidak mengucapkan, sebab mereka lebih sibuk mengurusi biaya pengobatan saya di dalam bulan menjelang saya berulangtahun. Saya waktu itu selalu bolak-balik kontrol ke rumah sakit. Belum jelas juntrungnya penyakit apa yang diderita saya.

Awal mula saya jatuh sakit, sejak seringnya berkemih. Sekalinya menuntaskan peristiwa tersebut, terkadang air seni di dalamnya berwarna seperti teh atau lebih kemerahan bahkan jika kedapatan dalam keadaan jernih pun terdapat beberapa bulir merah seperti agar-agar.

Karena keluarga sudah mengetahui keberadaan karakter yang berbeda, kakak pengais bungsu memberi saya usul, sebagaimana sebelum abang jatuh sakit parah, beliau menyarankan,

“Ki, test HIV aja, ya?”

Saya menuruti kemauan kakak pengais bungsu dan melaksanakan pesan dari abang yang baru terlaksana setelah sekian lama. Saya lantas menonton Youtube mengenai prosedur bagaimana tes HIV dilakukan. Usai menonton, saya berkesimpulan apabila tes HIV sama seperti  tes ambil sampel darah, hanya saja tidak perlu puasa dan penting dihadirkanya konseling sebelum dan sesudah tes berlangsung.

Tiga hari menjelang ulangtahun, saya mengikuti tes tersebut di laboratorium rumah sakit swasta ternama di kota kecil timur Pulau Jawa. Sebelum saya menjalani tes, saya dihadapkan dengan surat bermaterai di lobi laboratorium. Saya tercengang, tidak seperti yang ditonton di Youtube. Apa mungkin ini bagian dari S.O.P[1] laboratorium rumah sakit yang  diikuti ini?

Setelah diambil sampel darahnya, pihak rumah sakit tidak memberikan konseling sedetik pun. Tak heran apabila pria kurus ini masih duduk menunggu. Tetapi perawat—yang telah mengambil sampel darah saya—mengatakan bahwa pengambilan sampel darah telah usai. Tidak ada konseling sama sekali.

“Ki, bayarnya mahal tahu!” ucap kakak pengais bungsu di perjalanan pulang setelah menemani dari laboratorium.

Semakin terkejut apa yang saya pikirkan, mengapa dikenakan biaya. Setahu saya dari akun Twitter para gay yang aktif kegiatan seksnya, mereka menjalani tes yang serupa, tanpa biaya sekoin rupiah pun. Apa mereka pengguna asuransi, sehingga dimudahkan urusannya, dibanding saya yang pada saat itu belum mengikuti asuransi.

Saya lebih mengabaikan masalah tersebut, toh salah saya juga yang tidak mengikuti asuransi. Saya hanya ingin tahu bagaimana hasil tes tersebut. Pertama kali saya ketahui tentang keharusan menggali informasi seluk-beluk tes HIV. Dalam referensi yang saya baca, biasanya tes HIV dilakukan dua kali  pemeriksaan. Sebab pemeriksaan pertama biasanya terdapat kekeliruan, lalu kedua kalinya barulah bisa dikatakan vonis HIV atau bukan HIV.

Wah berarti aku diambil darah dua kali dan bolak-balik ke rumah sakit yang sama. Tetapi dugaan saya ini meleset. Kakak pengais bungsu bilang, sampel darah saya diteliti dua kali di rumah sakit yang berbeda, tidak perlu saya dilakukan tes sekali lagi. Sebab di rumah sakit yang tadi saya kunjungi kurang lengkap fasilitasnya.

Tinggal menunggu hasil sembari saya mengharapkan hadiah apa yang akan diberi. Namun jika keadaan yang sering bolak-balik rumah sakit, mustahil saya diberikan hadiah dari kakak terdekat itu. Utamanya memang karena saya yang salah, tidak berterusterang gejala yang saya derita apa selama ini dan tidak segera berobat di Bandung.

Padahal saya niatnya kalau terus terang sama seperti yang sedang mengeluh. Aa Abdur Rahman—sosok abang—walaupun, beliau sakit keras,  beliau tidak pernah mengeluh. Serta Teh Triwati malas berurusan dengan adiknya ini. Alasan saya terlambat dalam berobat, karena membayar dokternya yang terbilang tidak murah. Sementara dalam pikiran   saya lainnya, saya sebenarnya tidak mau merepotkan orangtua terus menerus.

“Kan  ibu kaya, masak sih kamu gak mampu berobat?” ucap Kak Pamungkas Putra, sang kakak ipar, suami kakak pengais bungsu.

Ucapannya seolah tak ada beban dan bahkan terkesan meremehkan. Saya tahu betul penghidupan ibu-bapak itu sehari-harinya dari upah pensiun. Upah pensiun tidak seberapa dan diatur sedemikian rupa: hanya cukup untuk makan sebulan, bayar iuran listrik dan air serta biaya kebersihan dan keamanan komplek. Sedangkan ibu yang terbiasa arisan pengajian, ibu tidak serta merta menggelontorkan uang sebanyak itu.

Saya tidak suka kakak ipar berbicara seperti itu. Saya hanya ingin menjadi anak yang berbakti, mengembalikan kepercayaan yang telah hilang, dengan cara tidak merepotkan orangtua.

***

Kado dari laboratorium rumah sakit berisikan kata-kata kedokteran yang tidak dipahami:

 

Jumlah dari

CD4 Absolut   : 198 (rujukan 410-1530 sel/uL)

CD4 %                        : 8,29 (rujukan 31-60%)

Status Virus    : Terdeteksi dan Reaktif

Maka, hasil pemeriksaan sampel darah disimpulkan:

Jumlah T Helper Limfosit (CD4) sangat menurun

 

Secara sepintas, saya melirik kata-kata itu. Mereka memiliki register[2]. Dalam mengamati dengan mengkolaborasi dengan ingatan pengalaman, saya membenarkan perkataan dosen linguistik yang pernah saya ikuti di perkuliahan. Setiap profesi memiliki bahasa tersendiri. Aku kesulitan membaca dan memahami hasil tes laboratorium sampel darah.

***

Akhirnya hasil tes tersebut dibawa ke urologi, dokter yang terakhir kalinya saya mengunjungi ke rumah sakit. Saya berwajah tanpa ekspresi sebab harap-harap cemas, dengan penampilan pakaian yang dikenakannya kemeja putih kusut dan celana jeans biru lusuh. Berbeda dengan pakaian kakak pengais bungsu yang elegan dan mewah, karena akan bertemu urologi ternama di kota kecil sebelah timur Pulau Jawa.

“Ini hasil laboratorium menunjukan, jika Mas Rizki memiliki daya imun yang sangat rendah, di bawah rata-rata nilai rujukan,” sang dokter spesialis perkemihan menjelaskan dengan bahasanya.

Saya dan kakak pengais bungsu—selaku orang yang menemani saya—sama-sama semakin tidak mengerti apa yang dimaksud dari ucapan tersebut. Untungnya, kakak pengais bungsu yang mempunyai inisiatif untuk bertanya ke arah tepat sasaran.

“Jadi, adik saya ini bagaimana,dok?”

Hening sejenak, sang pria berjas putih dengan stetoskop tersampir di lehernya itu melihat satu persatu dimulai dari saya yang memiliki hasil tes dan disusul pandangannya ke arah kakak pengais bungsu yang terlihat tegang dengan hasil tes tersebut.

“Mas Rizki positif,” ucapnya tenang.

Kakak pengais bungsu menangis, sedangkan saya tidak percaya apa yang diucapkannya. Aku yakin itu kurang ketikannya. Aku yakin itu salah. Begitulah aku dalam batin saya.

“Mas Rizki, temanmu di dunia kelam itu, masihkah mereka hidup?” menurut saya pribadi, pertanyaan macam apa ini dari seorang ahli.

Saya tidak pernah bertemu lagi dengan teman di dunia kelam itu. Komunikasi via pesan teks Whatsapp saja bisa mereka sedang sakit tetapi tidak terlihat keberadaan sebenarnya  atau mereka berpura sakit karena enggan berkomunikasi dengannya atau cari perhatian saja. Saya tidak mengetahuinya secara pasti.

***

Selama perjalanan kembali ke rumah kakak pengais bungsu, saya masih menyangka jika tes tersebut salah ketik. Tetapi kakak ipar sekali lagi dia berceloteh dengan nada dinginnya sembari mengemudikan mobil matic inventaris kantor.

“Ki, hasil lab gak mungkin salah, soalnya terhubung dan dihitung sama komputer!”

“Dek, tadi pas diumumin kok kamu malah gak ada ekspresi apa-apa? Apa kamu gak ngerasa dosa, hah!” Teh Triwati di sebelah Pamungkas dengan mata merah disertai air mata bercampur amarah kekecewaan tak kunjung kering dari mulut dan matanya.

Sementara saya di jok belakang, masih termangu dan memikirkan adanya probabilitas kekeliruan yang terjadi, tapi apa yang bisa dijadikan bukti empiris. Saya tidak mau mendengar ceriwis dari orang yang dituakan di depan saya itu.

***

“Ki, kamu tahu yang ada di kloset itu?” Teh Triwati bertanya pada saya sesampainya di rumah dirinya.

Saya dikelilingi sepasang suami istri dan ibu yang melahirkan saya juga Teh Triwati. Pada saat itu, saya diintrogasi untuk meminta klarifikasi terkait sejarah masa lalu. Mereka ingin tahu apa saja yang telah saya lakukan. Saya mengaku sebab desakan kakak ipar yang terus memberondong pertanyaan, sehingga saya mati kutu dalam beralasan. Ibu terus menerus menangis melihat saya dicecar pertanyaan dan mendengar jawaban dari saya.

“Kok kamu melamun, ayo jawab!” Kak Pamungkas menegaskan pertanyaan istrinya.

“Ya, saya tahu, teh.”

Geuleuh[3] kan lihatnya?” tak hentinya kakak terdekat saya ini bertanya.

Pertanyaan kali ini saya seolah berada di dalam kloset tersebut. Lalu Teh Triwati menekan flush sampai saya terbawa hanyut ke dalam saptic-tanc. Saya hanya diam dan mata tertuju pada proposal dengan judul “Pemanfaatan Sampah Organik Menjadi Pupuk” yang tergeletak percis di dekat saya duduk, tetapi entah kenapa pikiran nyeleneh menyeruak saat itu juga. Tapi saya tak utarakan pada mereka. Suasana tak mendukung.

Pikiran itu ialah jika saya berada di tanah setelah dari kloset, bisa jadi saya akan menjadi menyuburkan sekitar. Karena saya mengandung “kompos”, memberi manfaat pada tumbuhan yang akar menyerapnya. Maka, saya dari peristiwa itu, saya berusaha setenang mungkin. Siapa tahu saya bisa menyuburkan kehidupan selanjutnya, hasilnya akan dipetik kemudian hari. Saya percaya itu. Walau perih diperlakukan oleh kedua orang itu, tapi saya yakin suatu saat saya akan bermanfaat untuk orang lain.[]

 

 

Keterangan:

Disadur dari salah satu cerita berdasarkan pengalaman pribadi penulis yang diubah seperlunya dan nama para tokoh tentunya disamarkan demi privasi.

 

[1] Singkatan dari Standard Operation Procedure, tahapan demi tahapan yang dibuat dan dilakukan dari dan untuk instansi terkait.

[2]Dalam ilmu linguistik, register ialah ciri khas individu atau kelompok dalam berbahasa, mereka bisa diidentifikasi dari segi pemilihan diksi atau gerak tubuh yang bisa membedakan dengan individu atau kelompok lainnya.

[3] Terjemahan: Menjijikan: Sesuatu yang tidak enak dirasakan oleh indera penglihatan atau indera penciuman.

 

Dari L di Kota Bandung

Ubah Perasaan Bersalahmu dengan Optimis

Dalam sebuah perilaku, tentunya kita dihadapkan dengan sebuah nilai arti kebaikan atau keburukan. Tindakan yang membuat banyak manfaat kepada diri sendiri atau orang lain menjadi dambaan seseorang, namun apajadinya jika kita melakukan tindakan yang diluar nilai yang telah tertanam dalam diri kita?

Gaya hidup di era sekarang banyak macam kebutuhan dan keinginan dari setiap individu. Misalnya saja kebutuhan dalam bersosial, khususnya dalam hubungan berpasangan. Ketika hubungan sudah jauh dijalani dan melakukan perilaku seks beresiko pertamanya dengan pasangan, atau apabila individu tertular dengan virus HIV dari perilaku seks beresikonya maka tidak banyak dari mereka yang merasa bersalah (Feeling Guilty). Bagaimana perasaan bersalah ini bisa muncul?

Perasaan bersalah ini memang diawali dengan adanya kesadaran dari diri akan perilaku yang dianggapnya kurang baik. Kemudian terus dikaitkan dengan nilai-nilai yang ditanam didirinya semisal nilai religious atau budaya yang dimana mereka merasa berdosa, tidak suci, mengutuk bahkan membenci dirinya sendiri. Hal tersebut akan berdampak negatif terhadap kondisi fisik dan emosi seseorang. Maka disinilah perlunya mengubah perasaan bersalah menjadi suatu hal yang berdampak baik terhadap seseorang. Berikut cara mengubah perasaan bersalah menjadi pribadi yang lebih baik, diantaranya:

  • Bersyukurlah saat mengalami kondisi “merasa bersalah”.

Loh kenapa? Karna tidak semua orang memiliki atau merasakannya. Ketika Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) baru menerima statusnya dan mengambil pelajaran berharga atas perbuatan dimasa lampau serta dapat melalui dengan rasa bersyukur, maka dari sanalah mereka menemukan kehidupan yang lebih berkualitas dan menghargai segala yang dilakukannya.

  • Menerima apa yang terjadi dengan lapang dada (acceptance) .

Terima bahwa ini sebuah proses kehidupan yang harus dijalani. Memang tidak mudah, justru dengan sulitnya kita melalui proses ini akan muncul karakter dan pribadi yang tangguh dalam diri kita. Jadikan semua ini motivasi diri untuk menjadi lebih baik.

  • Memaafkan diri sendiri.

Sadar dan memaafkan dengan apa  yang terjadi dimasa lampau saja sudah satu langkah lebih baik, jangan terlalu menghukum pada diri sendiri. Berilah kesempatan pada diri untuk membuka lembar baru.

  • Move move move, lakukan pergerakan yang positif untuk masa depan

Lakukan hal positif dan tetap berkomitmen dengan KEHIDUPAN SEHAT dan BERKUALITAS.

Peran Keluarga Penting Untuk Orang yang Hidup dengan HIV dan AIDS

Sudah sering membahas mengenai kasus hiv yang sangat luar biasa di indonesia ini, tapi nyatanya stigma tetap melekat sampai saat ini. Odha sebutan dengan pengidap HIV Aids, sering sekali mereka itu hilang kepercayaan diri dalam hidupnya dalam hal apapun. Lalu bagaimana caranya untuk odha tetap percaya diri? dari berbagai kasus, terlebih untuk orang yang baru status HIV nya. Nah! Dari berbagai kasus ini banyak salah satu diantaranya yaitu Faktor Keluarga, dan biasanya konselor atau pihak layanan, menanyakan. Keluarga sudah tahu tentang statusmu? dan nyatanya semua jawaban hampir belum tahu, mungkin karena belum siapnya mereka untuk membuka statusnya ke keluarganya atau memang tidak harus tahu, cukup odha nya saja selagi dia masih sehat. Kembali lagi tentang penyakit HIV yang orang diluar sana mungkin cara pandangnya sangat kritis, penyakit menjijikan, penyakit mematikan, bahkan penyakit aib, dan siapa sih yang tidak depresi ketika baru tahu status? saya yakin semua juga merasakan hal itu, pun dengan cara pengobatannya yang harus meminum obat seumur hidupnya, pasti itu akan menjadi beban baginya. Dan beberapa kasus juga ditemukan salah satu faktor tidak ada dukungan dari keluarga, stigma keluarga, biasanya kasus ini mereka para odha yang awalnya tidak ingin membuka statusnya didepan keluarganya tetapi seiring berjalannya waktu akhirnya terbuka juga, sangat disayangkan, mereka sudah melakukan therapy pengobatan bertahun-tahun tetapi putus karena tidak ada dukungan dari keluarga. Jadi ada salah satu pertanyaan dari rekan saya, pentingnya terbuka status HIV kepada keluarga ?” wah soal keluarga, ada pepatah mengatakan “Hal paling berharga adalah keluarga”. Lalu apa definisi keluarga sendiri? Saya tidak perlu mendefinisikan arti keluarga, karena mungkin setiap orang mengartikan dan memahaminya berbeda, tapi intinya keluarga adalah orang terdekat kita. Lalu? Pentingkah? saya jawab penting sekali keluarga tahu status HIV, kenapa penting? odha masih bisa hidup dan sehat tanpa diketahui statusnya oleh siapapun. Sudah saya sedikit jelaskan diatas dan mengenai pengobatan yang metodenya itu seumur hidup, beban pastinya. Dengan ketidaktahuan keluarga tentang status HIV itu sangat beresiko menurunkan rasa percaya diri odha tersebut, dikatakan mentalnya terganggu atau depresi, dari berbagai kasus juga odha yang bermasalah putus pengobatan salah satunya faktor keluarga.

Dari permasalahan yang sering terjadi, saya ingin menggaris bawahi satu poin penting. Pentingnya keluarga tahu status HIV mu, agar mendapatkan dukungan keluarga dan orang-orang terdekat untuk mempercepat proses pemulihan kondisi, baik fisik maupun psikisnya. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kesehatan. Jika seseorang merasakan hadirnya penyakit ditubuh dan jiwanya, maka iya akan berupaya untuk kesembuhannyaa. Pun sama halnya dengan kasus HIV ini. Maka dari itu pentingnya peran keluarga dalam hal ini. Dari keluarga mengetahui status HIV mu salah satu therapy juga. Untuk pengobatan secara medis sudah ada tentunya dengan therapy ARV, akan tetapi perlu diketahui bukan hanya pengobatan medis saja yang dibutuhkan, tetapi pengobatan psikis yang tentunya keluarga yang sangat berperan disini. Bagaimana meyakinan bahwa dengan keadaan HIV akan baik baik saja dan mempunyai hak yang sama.

Menghapus Perlakuan Diskriminatif Orang dengan HIV Positif di Lingkungan Kerja

Upaya edukasi dan kampanye mengenai issue HIV/ AIDS masih terus dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia agar Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) mendapat perlakuan yang sama di masyarakat tanpa ada diskriminasi dari siapapun. Diskriminasi merupakan bentuk ketidakadilan, pembatasan atau pengucilan pada perbedaan manusia, termasuk didalamnya diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA). Namun kerap Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia kerja.
Dalam dunia kerja tentunya ada aturan yang mewajibkan perusahan agar terhindar dari perilaku diskriminatif. Pemerintah selalu menghimbau kepada seluruh perusahaan untuk tidak pernah melakukan bentuk diskriminasi. Dimana yang sudah tertuang pada UU No. 13/2003 pasal 5 dan 6 bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan serta setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari perusahaan. Pada realitanya muncul beberapa kasus pelanggaran mengenai diskriminasi terhadap tenaga kerja.
Munculnya kasus diskriminasi di dunia kerja sudah mulai tidak asing lagi apalagi dengan akses media publik yang semakin luas, baik diskriminasi dari aspek agama, ras, golongan, dan lainnya. Salah satu contoh kasus yang sedang hangat dibicarakan hampir disemua media mengenai perilaku diskriminatif adalah terjadinya ketidakadilan terhadap penyandang disabilitas yaitu Dokter Gigi Romi dalam penerimaan CPNS. Pembatalan PNS Dokter Gigi Romi ini menyita banyak pasang mata dan menjadi perhatian khusus pemerintah dalam menghapus diskriminasi di dunia kerja. Lingkungan kerja telah diberikan panduan secara hukum oleh pemerintah dalam hal mencegah terjadinya diskriminasi. Artinya pengusaha/lembaga harus melihat individu memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan. Nyatanya masih banyak perilaku diskriminatif yang terjadi di dunia kerja, namun disini penulis ingin mengangkat tema mengenai diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) di lingkungan kerja, dimana informasi mengenai HIV/ AIDS dimasyarakat masih kurang yang menjadikan lingkungan masih enggan menerimanya dengan baik.
HIV (Human Imunedeficincy Virus) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) sendiri adalah suatu kondisi medis berupa kumpulan tanda dan gejala yang diakibatkan oleh menurunnya atau hilangnya kekebalan tubuh karena terinfeksi HIV, sering berwujud infeksi yang bersifat ikutan (oportunistik) dan belum ditemukan vaksin serta obat penyembuhannya. Ditambah tingkat diskriminasi dan pemberian stigma negatif pada Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) masih tinggi. Salah satunya karena masih ada anggapan penyakit ini mudah menular, penyakit kutukan dan lainnya. Bentuk penolakan masyarakat bisa terlihat dari keengganan duduk bersebelahan, berjabat tangan karena takut tertular HIV. Namun disini Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) masih terlihat sehat dan bisa beraktualisasi diri, termasuk didalamnya dapat berprestasi dalam bidang pekerjaannya masing-masing. Nyatanya masih ada saja diskriminasi yang dialami Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam memperoleh haknya untuk bekerja.
Pada tahun 2018 terjadi kasus diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di salah satu kota di Jawa Barat. Bersumber dari rumahcemara.or.id menuliskan bahwa D seorang pekerja dengan status HIV positif mengalami diskriminatif di dunia kerja. Pasalnya D ini tidak dapat memperoleh hak melanjutkan pekerjaannya hanya karena terinfeksi virus HIV dalam tubuh dirinya. Kejadian tersebut bukan hanya dialami oleh D saja yang diberhentikan dari pekerjaan, ada beberapa kasus yang harus dialami calon tenaga kerja dengan HIV positif harus terhentikan dalam proses rekrutmen di perusahaan. Hal ini bertentangan dengan aturan Kepmenakertrans no.68/2004 pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa perusahaan atau pengurus dilarang melakukan tes HIV untuk digunakan sebagai prasyarat suatu proses rekrutmen atau kelanjutan status pekerjaan/ buruh atau kewajiban pemeriksaan rutin. Jika memang megharuskan adanya tes HIV, sudah disebutkan dalam pasal 2 bahwa tes HIV hanya dapat dilakukan terhadap tenaga kerja atau buruh atas dasar kesukarelaan dengan persetujuan tertulis dari pekerja bersangkutan. Hasil tes pun tidak dapat digunakan sebagai prasyarat rekrutmen maupun kelanjutan status kepegawaiannya.
Kasus diskriminasi terhadap tenaga kerja/ buruh dengan HIV positif masih terbilang belum banyak muncul karna informasi issue HIV yang masih memiliki stigma kurang baik oleh lingkungan. Pasalnya masih ada banyak kasus lainnya tidak diangkat media secara luas. Hal ini yang membuat penulis tertarik dan mempertanyakan perbedaan diskriminasi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan diskriminasi jenis lainnya dari sudut pandang korban, pengusaha, dan pemerintah.
Dalam Negara sebenarnya pemerintah sudah melindungi pekerja/ buruh secara sepenuhnya dengan langkah-langkah hukum yang jelas, diantaranya meliputi pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Namun disisi lain masih ada celah pelanggaran yang terjadi di lapangan sehingga membuat tenaga kerja merasa diperlakukan tidak adil oleh beberapa pihak, terutama pelanggaran diskriminasi pada tenaga kerja dengan HIV positif. Faktanya perilaku diskriminatif terhadap tenaga kerja dengan HIV positif kurang muncul dipermukaan. Hal tersebut dikarenakan memang kurangnya informasi hukum yang jelas pada korban diskriminatif.
Ada beberapa alasan mengapa Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ini tidak ingin menindaklanjuti kasus perilaku diskriminatif dari perusahaan sehingga kurang munculnya issue ini dimasyarakat umum, pertama kasus tidak mau diangkat karena takut akan kerahasiaan status pekerja dengan HIV positif akan tersebar ke masyarakat luas. Kedua, minimnya informasi mengenai perlindungan hukum bagi pekerja dengan HIV positif. Dan yang ketiga, stigma masyarakat yang masih melekat kuat terhadap issue HIV/AIDS. Namun pada dasarnya semua sudah diatur dalam regulasi dan perlindungan yang jelas dimata Hukum Negara. Perlunya informasi dan dukungan yang jelas dalam langkah hukum kepada pekerja dengan HIV positif yang mengalami diskriminasi oleh perusahaan.
Perusahaan pun dalam kaitannya menghadapi issue status pekerja dengan HIV positif, perusahaan memiliki tindakan dan pencegahan khusus agar tidak merugikan satu sama lainnya. Hal tersebut sudah dijelaskan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.68/Men/IV/2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS di tempat kerja. Jadi pihak perusahaan tidak perlu khawatir akan terjadi kerugian dengan memperkerjakan Orang dengan HIV/AIDS. Ada pun perusahaan akan mendapatkan sanksi jika melanggar aturan tersebut karna telah melakukan diskriminasi terhadap pekerja dengan HIV positif, mulai dari surat peringatan hingga pemberhentian ijin usaha.
Selain peran pemerintah dan perusahaan, masih perlu dukungan dari pihak lainnya diantaranya dari pihak serikat buruh dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berfokus pada edukasi issue HIV dan AIDS. Serikat buruh berperan dalam menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM) yang didalamnya membahas kebebasan mengeluarkan pendapat dan berorganisasi, yang selanjutnya diharapkan terpenuhinya hak dasar buruh akan upah yang layak, tanpa diskriminasi dalam kerja dan jabatan, adanya jaminan sosial, adanya perlindungan dan pengawasan kerja yang baik, dan sebagainya. Adapun peran LSM yang tidak kalah penting dalam mengedukasi masyarakat tentang issue HIV/ AIDS. Edukasi dan kampanye yang membawa tema HIV akan membantu mengurangi diskriminasi orang dengan HIV/AIDS mulai dari berbagai lapisan masyarakat.
Oleh karena itu, penulis berharap semua pihak dapat berperan sebagaimana tujuan dan aturan hukum Negara yang ada tanpa adanya diskriminasi. Orang dengan HIV/AIDS memiliki kesempatan yang sama dengan warga Negara lainnya. Mereka dapat berprestasi dan menunjukan eksistensi di lingkungan kerja. Diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS berpotensi menghambat mereka untuk hidup bahagia dan memiliki pekerjaan sebagaimana semua orang inginkan. Pada dasarnya semua warga Indonesia dilindungi Hukum Negara yang jelas dan tertulis.
Penulis mengangkat issue ini ingin memberikan informasi mengenai perlindungan hukum perundang-undangan bahwa halnya Orang dengan HIV Positif memiliki kesempatan bekerja yang setara dengan orang pada umumnya. Selain itu memberikan proses bantuan langkah hukum dan dukungan secara psikis agar berani untuk memperoleh kesempatan kerja tanpa ada diskriminasi. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dilindungi oleh regulasi hukum yang cukup namun perlu ada kerjasama dengan berbagai pihak baik itu pengusaha, pemerintah dan serikat buruh. Penulis berharap dapat berkontribusi dan terlibat dalam program-program bantuan hukum bagi masyarakat. Masyarakat yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang miskin, buta hukum dan tertindas terhadap akses bantuan hukum akibat adanya ketimpangan stuktur yang telah menghampirinya, termasuk didalamnya perilaku diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di lingkungan kerja

Penulis oleh R

Susah susah gampang merayu anak minum ARV

“Bunda kenapa aku harus minum obat terus?”
Jleb deh kalau dia tiba tiba tanya gitu.

Saya adalah seorang ibu yang punya buah hati yang berstatus hiv positif. Dia adalah putri kedua kami. Saya juga odhiv suami juga. Awal mau melahirkan putri kami itu saya sudah punya firasat buruk sebenernya. Tapi saya coba tepis rasa khawatir itu karena putra pertama kami statusnya negatif hiv. Walau dari awal saya dan suami adalah pasangan odhiv.

Tapi memang Tuhan berkehendak lain. Putri kedua kami harus lahir dengan status hiv. Tentu ini bukan hal mudah buat kami. Suami saya sempat mau menceraikan saya karena merasa bersalah dan gagal sebagai ayah. Dia yang pertama kena hiv.

Tapi saya bilang gini ke suami saya : kalau mau tanggung jawab jangan tinggalkan kami. Justru tunjukkkan kalau kita bisa lalui ini bersama.

Awalnya hampir tiap hari kami nangis. Merasa jadi orang tua yang gagal. Suami saya menyalahkan dirinya yang berstatus odhiv dan saya menyalahkan diri sendiri karena tidak menjaga kesehatan sehingga kondisi kandungan saya lemah. Ya terus begitu selama beberapa minggu.

Ya tapi hidup harus tetep berjalan kan? Dan anak kedua kami akhirnya harus rela tidak kami beri asi tapi susu formula. Dari awal saya memang tidak memberinya asi karena takut menularkan hiv. Karena saya tahu saya odhiv. Sampai kira-kira usia putri kami satu setengah tahun kami coba priksakan dia dan ternyata memang Tuhan berkehendak lain. Putri kami statusnya positif hiv.

Saya bersyukur dokter yang menangani kami cukup sabar menjawab berbagai macam kekhawatiran saya dalam mengurus buah hati. Cuma memang ada sebuah pertanyaan yang butuh ribuan cara menjawabnya. “Bunda aku kok harus minum obat terus? Bosen”

Kalau sudah gitu itu lemes rasanya. Tapi saya dan suami juga minum arv jadi kami tunjukkan ke dia putri kami kalau itu vitamin. Memahamkan tentang status odhiv pada anak kecil tak semudah memahamkannya bagi orang dewasa. Putra kami yang pertama pun sudah tahu kalau bapak ibunya dan adiknya berstatus hiv. Dan dia jadi abang yang keren. Dia juga ikut merayu si kecil kalau harus minum arv. Saya bersyukur punya anak kayak dia.

Kuncinya dikomunikasi. Sabar untuk merayu si kecil supaya tidak putus arv. Kami di rumah pasang alarm di jam yang sama. Si abang pun ikut minum vitamin c di jam itu. Jadi kami saling kerja sama. Suami saya dan anak anak. Tidak bisa dihadapi sendiri. Sampai akhirnya jadi kebiasaan.

Hal sulit selanjutnya adalah ketika putri kami yang cerdas ini bertanya pada temen sekolahnya. “Kamu minum vitamin jam berapa?” Dan temennya geleng geleng bingung.

Tarik napas dan siap dengan penjelasan. Ya anak kecil itu banyak pertanyaan tak terduga. Kami terus berusaha memahamkan ke putri kami kalau kondisi tubuh tiap orang itu berbeda. Ada yang butuh vitamin ada yang tidak. Ada yang terlahir dengan daya tahan bagus ada yang tidak. Ada yang lahir punya tangan kaki lengkap ada yang tidak. Begitulah pemahaman yang kami tanamkan secara berkala dan terus menerus. Dan komunikasinya selaras antara saya dan suami serta si abang.

Kini putri saya sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dan dia mulai bisa diajak bicara lebih serius. Kamis sering ajak dia buat ikut kegiatan KDS. Awal nya dia bingung. “Bunda orang orang di sini hiv kah? Bunda orang orang ini kok minum vitamin kayak kita? Apa kita sama seperti mereka?”
Ini pertanyaan yang bingung buat dijawab. Suami saya dengan berusaha menahan air mata dia pun menjelaskan pelan pelan tentang hiv pada putri kami. Cepat atau lambat dia memang mesti tahu statusnya. Makanya ketika dia sudah mulai cukup besar kami ajak dia ikut kegiatan KDS.

Ini yang suami saya bilang ke putri kami : “nak ayahmu ini sama seperti orang orang itu. Bunda juga. Adek juga. Kita memang harus minum vitamin seumur hidup. Maafin ayah ya nak belum bisa jadi oranb tua yang baik.”
Dan putri saya memeluk suami saya sambil bilang : ” ayah jangan sedih, adek bangga kok punya orang tua yang baik. Ayah jangan nangis ya.”

Ya dihari itu kami saling terbuka satu sama lain tentang status kami. Sebagai ibu melihat adegan anak saya pelukan sama bapaknya tangis tangisan itu moment luar biasa. Tapi lega akhirnya bisa cerita ke putri saya tentang apa yang sebenarnya.

Saya bersyukur sekali kami sekeluarga itu bisa saling menguatkan. Kuncinya komunikasi. Kedekatan anak dan orang tua. Saya yakin tiap keluarga pasti punya masalah, dan tidak ada masalah tanpa solusi.

Sejak hari itu putri kami justru makin banyak bertanya seputar hiv. Diluar dugaan. Saya sudah takut dia akan murung. Bersyukur sekali doa saya terkabul. “Tuhan berikan saya putra putri yang kuat untuk menghadapi masalahnya. Tidak lari dari masalah dan selalu menyikapi dengan bijak. Aamiin”

Itulah kisah saya yang sederhana. Tentu ada banyak kisah teman teman odhiv yang lebih keren. Dan maaf ya kawan kalau bahasa saya masih amburadul. Semoga niat saya berbagi kisah ini bisa saling menguatkan. Kuncinya komunikasi. Salam sehat!

Cerita dari Fikrah R Saputra

Buka Mata, Hati dan Telinga untuk Kasus Bunuh Diri.

1. Kenapa pemikiran bunuh diri bisa terjadi?
Pemikiran bunuh diri bisa terjadi karena ingin mencari jalan pintas karena berusaha menghidar dari beragam masalah hidup.

Tindakan untuk menghilangkan nyawa sendiri alias bunuh diri yang paling sering dilakukan seperti meminum racun atau obat agar berusaha mengalami overdosis, gantung diri, menggunakan beda tajam untuk menyakiti diri sendiri hingga berbagai cara lainnya.

Perlu disadari kalau perilaku bunuh diri ini bisa terjadi pada siapa saja, baik itu orang dewasa maupun pada usia remaja.

2. Kenali tanda bahaya dari perilaku bunuh diri
Menurut American Association of Suicidology ada tanda bahaya yang mudah dikenali dari perilaku bunuh diri. Peringatan ini bisa dijadikan acuan dalam melihat orang-orang yang disayangi dan mencegah mereka melakukan tindakan bunuh diri.

Ingat selalu kata-kata “IS PATH WARM” dan mulai kenali tanda bahayanya.

I – Ideation (pembentukan ide awal saat berkeinginan untuk bunuh diri
S – Substance abuse (penyalahgunaan substansi, seperti minuman atau obat-obatan)
P – Purposelessness (kehilangan arah tujuan hidup)
A – Anxiety (kecemasan karena banyak pikiran, sehingga mudah sekali putuh asa)
T – Trapped (terperangkap dalam perasaan yang mengganggap setiap masalah tidak memiliki jalan keluar)
H – Hopelessness (mudah putus asa karena tidak melihat masa depan yang indah)
W – Withdrawal (kecenderungan menarik diri dan menjauh dari lingkungan sekitar)
A – Anger (seringkali menunjukkan kemarahannya terhadap situasi yang kurang menyenangkan)
R – Recklessness (sering melakukan kecerobohan dan aktivitas berbahaya lainnya tanpa memikirkan konsekuensi yang bisa terjadi)
M – Mood change (mudah mengalami perubahan suasana hati secara berlebihan)
Kata-kata “IS PATH WARM” perlu diingat sebagai acuan, sehingga lebih mudah memahami tanda bahaya dari orang-orang sekitar yang berniat melakukan tindakan bunuh diri.

3. Selalu ada pemicu untuk melakukan perilaku bunuh diri
Setiap tindakan yang dilakukan manusia pasti selalu ada tujuan dan faktor pemicunya.

Dalam melakukan perilaku bunuh diri, masalah atau faktor-faktor inilah yang menyebabkan seseorang menjadi yakin untuk segera mengakhiri hidup. Padahal jalan pintas dengan melakukan bunuh diri seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah, namun justru akan menimbulkan masalah baru dan memberi luka terhadap orang-orang yang ditinggalkan.

Semoga informasi ini mengenai perilaku bunuh diri ini semakin membukakan mata banyak orang dan lebih meminimalisir banyaknya korban.

Di tahun 2018 ini, Hari Pencegahan Bunuh Diri mengusung sebuah tema tersendiri yakni “Berupaya Bersama untuk Pencegahan Bunuh Diri”.

Tema ini sangat bagus untuk dibagikan kepada masyarakat dunia karena perilaku bunuh diri harus bisa dicegah agar semakin mengurangi permasalahan yang ada. Setiap orang berhak peduli dan memperhatikan orang-orang tercinta yang memiliki masalah berat agar tidak berujung mengakhiri hidupnya.

Perilaku bunuh diri sebenarnya tidak selalu berkaitan dengan penyakit kejiwaan, namun ada kemungkinan kurang bisa mengelola emosinya sendiri. Tema ini Hari Pencegahan Bunuh Diri ini rencananya akan dipertahankan terus sampai tahun 2020.

Perkumpulan Puzzle Indonesia adalah sebuah pusat informasi dan edukasi terkait kesehatan masyarakat khususnya HIV dan AIDS

Supported by :

Hubungi Kami

Basecamp Perkumpulan Puzzle Indonesia
JL. Desa Gg Desa 1 No. 25 RT 03 RW 02
Kel. Babakansari Kec. Kiaracondong
Bandung 40283 Jawa Barat

022-20541982

[email protected]